Jakarta, CNN Indonesia

Suara khutbah mengalun merdu dari menara masjid yang berada di Jl. Masjid Hidayatullah Nomor 3, RT3/RW4, Kuningan, Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Jumat (1/3) siang.

Derap langkah kaki ratusan orang berpacu menuju sumber suara. Gapura bercorak hijau bertuliskan ‘Masjid Hidayatullah’ menyambut kedatangan mereka.

Masjid yang dibangun pada 1747 itu dihimpit gedung-gedung pencakar langit di kawasan bisnis Jaksel.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kali Krukut berwarna kecoklatan mengalir tenang di depannya. Meski begitu, keindahan Masjid Hidayatullah tak luput dari pandangan mata.

Masjid Hidayatullah berdiri di lahan yang diwakafkan warga keturunan Bugis dan Betawi bernama Muhammad Yusuf.

Situasi sulit masjid di pertengahan 1980an

Berbeda dengan masjid-masjid tua yang justru berkembang luasnya dari pembangunan awal berabad-abad lalu, area masjid Hidayatullah justru menyusut.

Mulanya, area masjid itu memiliki luas sekitar 3.000 meter. Namun, mengalami penyusutan akibat pelebaran Kali Krukut dan pembangunan jalan, sehingga kini hanya tersisa sekitar 1.700 meter.

Proyek itu turut membuat sekitar 1.500 makam yang berada di dekat area masjid dipindahkan ke tempat lain oleh para ahli warisnya. Bahkan saat Orde Baru masih berkuasa di tahun 1980an, masjid itu sempat akan tergusur seperti rumah-rumah penduduk di sekitarnya pada masa itu.

Ketua DKM Masjid Hidayatullah, Muhammad Thohir mengatakan beton-beton tinggi menjulang yang mengepung masjid semula merupakan pemukiman penduduk. Selain itu, banyak pabrik-pabrik batik di kiri dan kanan masjid.

Rumah-rumah warga kemudian berganti menjadi gedung tinggi usai para pengembang properti melakukan pembebasan lahan pada 1985 silam.

“Ketika 1985 mulai pembebasan lahan. Masjid Hidayatullah dulu terancam, sempat mau digusur oleh pihak pengembang. Pembebasan ini melibatkan orang-orang dalam masjid sendiri,” ucapnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com pada Jumat itu.

Kala itu, Masjid Hidayatullah diurus kakeknya Thohir. Namun, kata Thohir, kakeknya wafat di tengah polemik pembebasan lahan masjid pada pertengahan 1980an lalu.

Orangtua Thohir lalu menunjuk beberapa orang sebagai pengurus Masjid Hidayatullah.

Dia mengatakan orang-orang itu diiming-imingi uang dengan nominal besar oleh pengembang properti. Tujuannya agar mereka bersedia memindahkan Masjid Hidayatullah ke lahan lain yang telah disediakan.

Tak berhenti di situ, pengembang properti juga menyambangi kediaman keluarga Thohir. Pengembang properti menyatakan akan memberangkatkan semua pengurus masjid ke tanah suci di Arab Saudi.

Bahkan, kata Thohir, pengembang properti sempat membawa mobil merk BMW untuk diberikan kepada keluarganya. Namun, nyalinya mendadak ciut setelah melihat mobil Mercedes Benz terparkir di garasi keluarga Thohir.

Pihak keluarga dan pengurus pun berkehendak bangunan masjid itu tetap berada di sana, tempatnya sejak dulu.

“Nanti masjid pindah. Pengurus masjid akan diberikan kembalian [imbalan dari pengembang]. Kita tidak sepeserpun menginginkan seperti itu. Kita menginginkan Masjid Hidayatullah tetap ada dari dulu sampai sekarang,” kata Thohir menceritakan polemik pada pertengahan 1980an itu.




Masjid Hidayatullah SetiabudiSuasana di dalam Masjid Hidayatullah, Setiabudi, Jakarta Selatan, 1 Maret 2024. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)

Pengembang properti lantas melibatkan Walikota Jakarta Selatan kala itu. Menurutnya di hadapan  para pengurus masjid, walikota kala itu dengan lantang mengatakan Masjid Hidayatullah sampai kapanpun tak akan memiliki sertifikat tanah.

Tak menyerah, para pengurus Masjid Hidayatullah tetap berusaha keras mempertahankan lahan tersebut.

Pengembang properti kemudian membayar preman-preman untuk menyerang jemaah Masjid Hidayatullah. Dia mengatakan suasana mencekam, kontak fisik tak terhindarkan.

Tiga jemaah mengalami luka akibat bacokan senjata tajam dari para preman.

“Ibaratnya kita ini Palestina, mereka Israel. Kita digempur habis-habisan, masjid ini dikepung. Itu berlangsung seminggu, kontak fisik dua hari,” ujarnya.

Selang beberapa hari, salah satu petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Setiabudi menemui para pengurus masjid.

Orang itu memberikan undangan pengambilan sertifikat tanah atas nama Masjid Hidayatullah. Sontak para pengurus masjid kaget. Sebab, mereka tak pernah mengajukan pembuatan sertifikat tanah.

Rasa haru menyelimuti hati para pengurus Masjid Hidayatullah. Usaha mereka mempertahankan lahan masjid berbuah manis.

“Yang menyerahkan sertifikat langsung Walikota itu sendiri. Kaget dia. Ya kita memang benar kok. Senjata kita sertifikat, akhirnya pengembang mengalah. Walaupun kelihatannya sudah enak, tapi tetap aja rongrongan-rongrongan itu masih ada,” kata Thohir.

Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah

Baca halaman selanjutnya






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *